belajar pidato bahasa Jawa secara otodidak,
bisa nggak ya ???

Senin, 31 Januari 2011

Upacara Panggih, urut-urutan dan maknanya

Upacara Panggih, atau lengkapnya disebut Upacara Adat Widhiwidana Panggih, adalah upacara yang penting dan sakral bagi orang Jawa karena sebagai akad-nikahnya adat Jawa. Walau begitu bisa terjadi antara pengantin yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda tata caranya, hal itu disebabkan latar belakang juru rias atau juru sumbaga-nya berbeda. Lain dukun lain tatacara, walau usaha-usaha standarisasi itu nampaknya sudah ada di buku-buku, tapi kenyataannya masih terjadi simpang siur. Berikut ini urut-urutan upacara Panggih yang saya dapat dari seorang guru saya.

Memandu upacara adat widhiwidana panggih bukanlah hal yang ruwet, bukan hal yang rumit, bukan pula hal yang sulit. Juru rias saat memandu upacara adat widhiwidana panggih berperan sebagai 'dukun', sebagai 'juru sumbaga' yang menjadi fasilitator upacara, fungsinya mirip seperti penghulu pada upacara akad nikah. Biasanya bekerja sama dengan juru foto yang mengabadikan moment peristiwa sakral tersebut, dan panatacara yang menjadi reporter jalannya peristiwa. Dengan membaca artikel ini ditambah menyaksikan sekali saja, jangankan juru rias, orang biasapun pasti seterusnya bisa.
Upacara panggih lengkapnya disebut upacara adat widhi widana panggih, yaitu suatu tata cara mulia yang diturunkan oleh Tuhan untuk membuat hati hambaNya tenteram. (Widhi=Tuhan; widana=pemberian yang bersifat mulia). Kata panggih itu sendiri merupakan akronim dari 'pangudi gambuhing penggalih' artinya yang membuat hati tenteram. Upacara ini fungsinya sama dengan akad-nikah dalam agama Islam, yaitu mempersaksikan kehendak berumah tangga di hadapan manusia dan Tuhan. Setiap agama ataupun suku bangsa punya tata cara sendiri yang satu sama lain berbeda tetapi tujuannya sama, yaitu untuk urusan perkawinan manusia harus melalui proses upacara ritual tertentu lebih dahulu. (Bandingkan dengan dunia hewan yang bebas gitu...). Mungkin pada zaman dahulu kala Tuhan mengajarkan upacara panggih itu kepada suku Jawa sebagaimana Dia mengajarkan akad-nikah kepada bangsa Arab. Katanya sih, upacara panggih itu warisan budaya kuno Jawa.

Upacara panggih antar daerah bisa beda, tapi itu lebih tergantung pada sang juru sumbaga (=juru rias, dukun manten) menguasai tatacaranya atau tidak, maklum budaya ini sudah luntur terdesak budaya lain yang masuk. Umumnya mempelai putri dihadirkan lebih dahulu, biasanya didudukkan di kursi pelaminan, "ini lho calon mempelai wanitanya, cantik kan?", kira-kira begitu temanya. Lalu mempelai pria dihadirkan sampai ke tempat upacara yaitu di depan kursi pelaminan, "tuh calon pengantin prianya, gagah kan?", kira-kira begitu temanya. Mempelai putri berdiri turun dari pelaminan hingga berhadapan dengan mempelai pria.

Gantal sadak
Setelah berhadap-hadapan dengan jarak beberapa langkah mereka saling melempar gantal. Gantal adalah daun sirih yang digulung diikat dengan benang. Ada pula yang tidak dilempar tetapi ditukar kemudian diremas lalu dijatuhkan di situ. Kedua mempelai membulatkan tekadnya untuk membangun mahligai rumah tangga bagaikan membulatkan gulungan daun sirih. Daun sirih itu atas bawahnya pasti terlihat beda, tetapi kalau digigit rasanya di lidah sama saja. Itulah pengandaian kedua mempelai, mereka beda jenis kelamin tetapi tekadnya membangun mahligai rumah tangga sudah sama. Niat yang sama itu menjadikan mereka terikat janji luhur untuk hidup bersama, mereka mengikat janji dengan ikatan benang pada gulungan daun sirih.

Mecah hantiga / wiji dadi
Di hadapan kedua mempelai kemudian diletakkan telor ayam dan air, mempelai pria menginjak telor tadi dengan kaki kanan sampai telornya pecah mengotori kakinya. Sambil menginjak itu mempelai pria membulatkan niatnya untuk 'ngayani, ngayemi, ngayomi' (=mencukupi, membahagiakan dan melidungi) pasangannya sebab sadar bahwa tindakannya mengawini pasangannya adalah merusak status keperawanannya yang tidak mungkin pulih kembali lagi bagaikan pecahnya telor, karena itu bertekad: berani merusak tentu harus berani membangun dengan 'ngayani, ngayemi, ngayomi'. Pada model paes ageng Jogja telor tersebut tidak diinjak, tetapi oleh sang juru sumbaga disentuhkan ke dahi kedua mempelai kemudian dibanting hingga pecah di tempat yang telah disediakan. (tapi sssstt..... kadang-kadang diam-diam telor yang dibanting itu nggak pecah lho..)

Wijik suku
Mempelai putri kemudian berjongkok membasuh kaki yang kotor tadi dengan air yang disediakan kemudian melapnya sampai kering, saat itu dia menyadarkan dirinya akan tugasnya, yaitu berbakti pada suami, berbakti itu terkadang berat, boleh jadi suatu ketika hal menjijikkan macam membasuh kaki kotor akan dijalani.

Lantingan
Setelah kakinya bersih mempelai pria memakai lagi selopnya, lalu membimbing mempelai wanita berdiri sejajar di samping kirinya, ini disebut 'lantingan'. Saat itu mempelai pria menyadarkan dirinya bahwa harkat, martabat dan derajat pasangannya itu sejajar, setara dengan dirinya. Istilah sekarang disebut 'kesetaraan gender'.

Singeb sindur / sindur binayang
Sang ibu mempelai putri me'nyingeb'kan selendang sindur ke punggung kedua mempelai, singeb artinya selimut, kedua ujungnya dipegang oleh sang ayah yang kemudian 'menyeret' membimbingnya menuju kursi pelaminan, sedang sang ibu meletakkan kedua tangannya di punggung kedua mempelai seperti mendorong.
Sindur artinya anugerah air kehidupan, yaitu kehidupan dalam hubungan suami istri. Setelah selesai upacara, hubungan itu sudah 'halal' bagi kedua mempelai. Hubungan itulah yang akan selalu mempersatukan mereka karena mereka terselimuti pengaruh hubungan itu. Tanpa hal itu rumah tangga bisa goyah atau bahkan hancur. Tetapi awas jangan sembarangan menggunakannya, karena itulah diperingatkan dengan warna selendang sindur yang merah di tengahnya, sedang warna putih di tepinya melambangkan air kehidupan itu. Sang ayah 'menyeret' membimbingnya, ini menyadarkan kedua mempelai untuk mengarahkan hak hubungan suami istri itu kepada nilai-nilai luhur (=akhlakul karimah). Sedang sang ibu 'mendorong' punggung mereka sebagai isyarat bahwa orang tua selalu memberi dukungan moral.

Timbangan / pangkon
Setelah sampai di kursi pelaminan sang ayah duduk, kedua mempelai duduk dipangku di lutut sang ayah. Pada saat itu sang ayah menimbang berat mereka dengan hatinya, sudah sama belum kasih sayangnya terhadap mereka, yang satu anak yang satu menantu, lalu sang ibu bertanya, "awrat pundi Pak?" (=berat mana Pak?). Lalu sang ayah menjawab, "ah, padha wae" (=ah, sama saja). Orang tua tak lagi membedakan antara anak dan menantu, keduanya merupakan anak sendiri.

Tanceban / Tandur / Wisudan
Kemudian mereka berdiri, sang ayah memegang pundak mereka, membimbing mereka duduk berdampingan di kursi pelaminan, kesannya seperti sedang ditancapkan (=tanceban), atau bagaikan tanaman padi yang ditanam (=tandur), atau diwisuda, dari status calon temanten diwisuda menjadi temanten. Dengan isyarat ini orang tua telah menempatkan mereka di tempat yang seharusnya yaitu rumah tangga.

Kacar-kucur
Pengantin pria menuangkan 'tampa kaya' dari lipatan 'klasa bangka' ke pangkuan mempelai putri yang dialasi selembar 'kacu gembaya' untuk membungkusnya. Mempelai putri kemudian menyerahkan bungkusan tersebut kepada ibunya. 'Tampa kaya' biasanya berupa beras kuning disertai biji-bijian dan bumbu dapur seperti kacang, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, dsb. Artinya pria memberikan nafkah pada istrinya. 'Klasa bangka' adalah tikar pandan kecil, umumnya diganti dengan kain sindur yang dilipat. 'Kacu gembaya' adalah saputangan khusus yang tengahnya berbentuk kantung. Dalam rumah tangga istri bertugas memanage ekonomi rumah tangga, dalam memanage itu mesti ingat orang tuanya, karena itulah mempelai putri menyerahkan bungkusan pada ibunya.

Dulangan
Intinya mempelai pria menyuapi mempelai putri dengan sekepal nasi sebagai ibarat berperan sebagai guru pembimbing dalam rumah tangga. Dalam perkembangannya menjadi dulang-dulangan, kedua mempelai saling menyuapi yang bisa diartikan sebagai saling kompak. Dalam praktek umumnya nasinya adalah nasi kuning yang dibuat tumpeng, bahkan dilengkapi ingkung, tetapi menurut nara sumber yang saya percayai bahwa pakai nasi putih saja sudah cukup.

Ngunjuk tirta wening
Mempelai saling memberi minum dengan air putih, ada pula pakai rujak degan. Bermakna harapan akan kejernihan hati di dalam berumah tangga sebagaimana jernihnya air putih, atau harapan akan keturunan dengan minum rujak degan.

Langkah-langkah upacara dari Timbangan hingga Ngunjuk Tirta Wening ini disebut upacara adat Krobongan karena dilakukan di dalam krobong. Tentang krobong ini umumnya berupa sasana rinengga, tetapi ada pula yang pakai ruang tengah rumah. Krobong=robyong= ruang tengah rumah adat Jawa bagian kiri. Dekorasi sasana rinengga adalah 'tiruan' ruang tengah bagian kiri rumah adat Jawa. Pada zaman dahulu konon krobong merupakan tempat untuk melakukan ritual, karena itu upacara adat krobongan itu bagaikan sembahyang, yaitu mempersaksikan kehendak berumah tangga kepada Yang Maha Kuasa.

Sungkeman
Sebagai penutup upacara adat kedua mempelai sungkem pada orang tua sebagai tanda berbakti.
Menjelang acara sungkeman ini kalau orang-orang gedean biasa ada acara 'Besan Mertuwi', tapi pada masyarakat kelas bawah biasanya tidak. (Mertuwi gimana, wong sejak awal upacara sang besan sudah duduk di antara para tamu di depan pelaminan menyaksikan keseluruhan rangkaian upacara, emang mau pura-pura mertuwi segala? malah jadi bahan tertawaan nanti )